Friday, April 6, 2012

Demokrasi Pada Mahasiswa


Seorang warga Athena tidak menterlantarkan negara demi kepentingan sendiri. Juga mereka diantara kita yang harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, mampu merumuskan gagasan-gagasan politik yang jelas. Seseorang yang tidak mempunyai perhatian terhadap kepentingan umum, dimata kita tidak berbahaya, tetapi tidak berharga. Memang hanya sedikit diantara diantara kita yang menjadi peletak asas, tetapi kita semua mampu memberi penilaian yang tepat dari politik.
Setiap undang-undang yang tidak ditetapkan oleh rakyat sendiri, tidak ada harga; itu bukanlah undang-undang. Bangsa Inggris berpikir bahwa ia bebas, tetapi ia keliru; ia hanya bebas selama pemilihan anggauta-anggauta parlemen: begitu mereka terpilih, maka ia menjadi budak, tidak menjadi apa-apa lagi.
Ciri-ciri Demokrasi
Kata demokrasi, yang lahir di Yunani kira-kira 2500, sedianya berarti “penguasaan oleh rakyat”. Dari abad ke  abad ia menjadi bendera yang melindungi muatan yang sangat  berbeda-beda.
Dalam bab ini terutama dua pertanyaan yang akan dibahas. Apakah ciri-ciri demokrasi? Dan gejala-gejala yang berkaitan dengan tingkatan demokrasi? Barang siapa menginginkan demokrasi, maka ia tidak boleh mengabaikan kedua pertanyaan itu.
Bertolak dari arti purbakala dari kata itu, maka yang diartikan dalam buku ini dengan demokrais adalah cara pembentukan kebijaksanaan yang ada selama anggota-anggota suatu kelompok mempunyai kemungkinan untuk  mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung isi, proses dan dampak dari kebijaksanaan kelompok itu. Maka demokrasi politik adalah demokrasi di dalam sistem politik.
Demokrasi adalah suatu cara pembentukan kebijaksanaan. Demokrasi bukan suatu ideologi. Sudah tentu ada bermacam-macam hubungan antara demokrasi dan ideologi-ideologi.
Demokrasi adalah suatu pengertian yang mempunyai tingkatan-tingkatan. Ada kemungkinan adanya lebih banyak dan lebih sedikit demokrasi. Mungkin perbedaan antara sistem yang lebih demokrasi dan sistem yang kurang demokratis lebih berarti daripada perbedaan antara sistem demokratis dan sistem non-demokratis.
Tingkat demokrasi yang sama dapat dicapai dengan bermacam-macam cara.  Gudang sarana untuk  memungkinkan anggota-anggota kelompok mempengaruhi kebijaksanaan, pada dasarnya tidak terbatas. Pemilihan-pemilihan merupakan hanya satu dari sarana-sarana itu. Sarana-sarana lain meliputi umpamanya peraturan mayoritas, tetapi juga peraturan untuk  melindungi mayoritas-minoritas, keterbukaan, kebebasan mengemukakan pendapat, naik banding terhadap keputusan-keputusan, aktivitas-aktivitas politik melalui kelompok-kelompok penekan dan badan-badan pertimbangan, dan jaminan kebebasan pribadi. Yang secara berat sebelah dibatasi hanya  pada pemeilihan-pemilihan adalah umpamanya definisi terkenal dari Schumpeter; metoda demokrasi adalah peraturan kelembagaan untuk  tiba pada pembentukan keputusan dimana perseorangan-perseorangan memperoleh hak mengambil keputusan melalui perang persaingan untuk  suara para warga.
Demokrasi dan kepemimpinan tidak saling meniadakan. Seorang pemimpin lebih demokratis apabila ia memberi semakin banyak kemungkinan kepada anggota kelompok  untuk  mempengaruhi kebijaksanaan. Seorang demokrat lebih bersifat pemimpin apabila ia membuat anggota-anggota kelompok lebih banyak memberi sokongan untuk  mencapai tujuan-tujuan kelompok.
Lawan dari demokrasi adalah otokrasi. Otokrasi adalah cara membentuk kebijaksanaan yang terjadi apabila hanya (para) pemimpin dan bukan anggota-anggota lainnya mempunyai kemungkinan mempengaruhi kebijaksanaan kelompok, secara langsung atau tidak langsung.
Jenis-jenis Demokrasi
Menurut beberapa segi pandangan dapat dibedakan berbagai jenis demokrasi. Dapat umpamanya diperhatikan sifat kelompok dimana terdapat itu, besarnya kelompok itu, langsungnya pengaruh terhadap kebijaksanaan oleh anggota-anggota kelompok, tingkat partisipasi politik, tingkat pengaruh para anggota terhadap kebijaksanaan, hubungan-hubungan antara pemerintah dan parlemen dan banyak lagi.
Demokrasi sendiri bukan hanya merupakan tujuan. Demokrasi adalah juga tujuan-tujuan menuju tujuan-tujuan yang lebih jauh. Sesuai dengan tujuan-tujuan itu maka pandangan mengenai jenis demokrasi yang diperlukan akan berbeda-beda pula. Yang penting umpamanya adalah pertanyaan apakah demokrasi politik dilihat sebagai tujuan-antara menuju efektivitas ataupun menuju keabsahan sistem politik. Suatu sistem politik lebih efektif apabila ia lebih banyak membantu tercapainya tujuan-tujuan dari semua yang termasuk dalam sistem politik lebih efektif apabila ia lebih banyak membantu tercapainya tujuan-tujuan dari semua yang termasuk dalam sistem itu. Suatu sistem politik lebih sah apabila pembagian kekuasaan dalam sistem dianggap lebih benar oleh orang-orang yang termasuk dalam sistem itu.
Jika efektivitas sistem politik merupakan tujuan akhir, maka persaingan antara partai-partai, dengan kata lain suatu model konflik atau polarisasi, dan pemilih yang relatif rasional yang dapat mengadakan pilihan partai yang tepat, akan dianggap sebagai syarat-syarat menguntungkan bagi demokrasi politik. Pemikiran demikian terhadap antara lain pada Downs, Olsen dan pengikut lainnya dari pendekatan “ekonomis’ dari demokrasi.
Sebaliknya, jika keabsahan sistem politik merupakan tujuan akhir, maka bukanlah persaingan antara partai-partai, tetapi sistem nilai bersama akan dianggap sebagai syarat yang menguntungkan bagi demokrasi. Jadi dengan kata lain, yang digunakan adalah model integrasi, pemilih dianggap non-rasional, yang tidak dapat mengadakan pilihan yang masuk akal antara pendapat partai-partai mengenai kebijaksanaan. Pemikiran demikian terdapat antara lain pada Lipset, Almond dan pengikut-pengikut lainnya dari pendekatan “sosiologis’ dari demokrasi.
Yang penting juga bagi pemikiran mengenai demokrasi politik ialah pertanyaan apakah demokrasi dilihat sebagai tujuan antara menuju kebebasan, persamaan atau kebersamaan dan toleransi (persaudaraan). Pembagitigaan ini dapat ditereapkan dalam ketiga jenis demokrasi yang dibeda-bedakan oleh Dahl.
Sebagai bentuk kedua dari demokrasi disebut oleh Dahl “populistic democracy”. Demokrasi disini diidentifikasikan dengan persamaan politik, kedaulatan rakyat dan pemerintahan oleh mayoritas.
Yang menjadi terkenal adalah tripologi (pembagian menurut jenis) dari sistem-sistem politik demokrasi menurut Lijphart, suatu pembagian yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
Kebudayaan politik
Gaya elite-elite kartel (kerjasama) persainganHomogenyTerisolasi
Demokrasi kartel
Demokrasi sentripetal
Demokrasi pasifikasi
Demokrasi sentrifugal
Demokrasi sentripel mantap disebabkan kebudayaan politiknya yang homogeny dan dapat bertahan dengan mudah terhadap persaingan antara elite-elite. Contoh-contoh adalah negara-negara Skandinavia dan Inggris.
Demokrasi pasifikasi seharusnya tidak mantap disebabkan kebudayaan politiknya yang terisolasi, tetapi dapat dimantapkan kerjasama. Demokrasi kartel, yang oleh Lijphart dianggap sebagai demokrasi untuk  hari depan, mantap karena penggabungan kebudayaan politik yang homogeny dengan kerjasama antara elite-elite.
Demokrasi
Upaya memperoleh demokrasi dan demokratisasi lebih lanjut sama tuanya dengan politik. Di negara-negara kota Yunani yang tua terdapat demokrasi langsung; para  warga menetapkan sendiri kebijaksanaan, tanpa melalui wakil-wakil. Di dalam masyarakat sekecil itu, dimana kebijaksanaan pemerintah belum begitu luas dan tidak begitu rumit, ternyata bahwa demokrasi langsung dapat dijalankan. Tetapi harus diperhatikan bahwa hak-hak demokratis terbatas pada yang disebut warga (burger) yang hanya merupakan minoritas dari seluruh penduduk.
Faktor-faktor Demokrasi
Mengukur tingkat demokrasi politik dengan cara yang digunakan oleh Cutright untuk  menentukan ukuran perkembangan politik di 77 negara dalam tahun-tahun 1940 sampai 1960. Sistem-sistem politik dalam yang demokratis dan yang tidak demokratis yang biasanya dipergunakan dan kebanyakan tercipta atas dasar-dasar yang agak mengesankan (Philips Cutright, 1963).
Mengenai faktor-faktor kebudayaan yang dapat bersangkut paut dengan tingkat demokrasi politik, pertama-tama kita dapat mengingat kepada isis pendirian-pendirian politik. Demokrasi dan demokratisasi dari abad ke abad dibela oleh berbagai aliran politik atas dasar yang berbeda-beda seperti kematangan orang awam, kebebasan, persamaan, kebersamaan dan toleransi. Nampaknya dapat diterima bahwa tingkat demokrasi di suatu masyarakat lebih tinggi apabila dasar-dasar demokrasi, kebebasan-persamaan dan dasar-dasar yang disebut lainnya lebih sering dan lebih intensif didukung. Akan tetapi tidak terdapat keterangan-keterangan yang seksama mengenai hal itu.
Hal yang sama berlaku bagi kepercayaan politik. Demokrasi disatu pihak menganggap adanya kemampuan para warga untuk  melancarkan kritik, dan lain pihak juga kesediaan para warga  untuk  memberi sedikit kepercayaan kepada pemimpin-pemimpin politik mereka. Kepercayaan tanpa kritik merong-rong demokrasi, tetapi ketidakpercayaan yang tanpa batas pun melukan hal yang sama. demikinalah anggapan umum.
Selain dengan isi pendirian-pendirian politik maka tingkat  demokrasi dapat juga berkaitan dengan tingkat  kesepakatan politik. Hipotesa terkenal dalam hal ini adalah bahwa tingkat demokrasi politik akan semakin tinggi apabila pokok-pokok perselisihan politik (issues) lebih sedikit berkenaan  dengan nilai-nilai dasar. Dalam hal demikian kita bertolak dari anggapan para warga, apabila pertentangan politik lebih sedikit mengenai nilai-nilai dasar-jadi umpamana bukan mengenai agama tetapi mengenai kenaikan upah-akan lebih mudah mengadakan kompromi, jadi lebih mudah membiarkan orang lain memperoleh kekuasaan politik, jadi lebih bersikap demokratis.
Hipotesa lain mengenai hubungan antara demokrasi politik dan kesepatan politik adalah bahwa akan lebih banyak demokrasi politik apabila preferensi politik untuk  setiap pokok perselisihan terbagi lebih normal, artinya lebih sedikit terpolarisasi. Pada suatu pembagian normal, artinya bila mayoritas warga mempunyai pendirian lebih moderat dan hanya minoritas kecil menempati posisi yang ekstrim “kiri” atau ekstrem “kanan” maka mayoritas yang moderat akan bersedia jadi berkompromi mengenai kebijaksanaan yang akan dijalankan, jadi membiarkan orang lain mempunyai sedikit kekuasaan, jadi menerima baik demokrasi.
Disamping faktor-faktor kebudayaan maka di dalam literatur disebut juga faktor-faktor struktural yang dapat berkaitan dengan tingkat demokrasi. Harus diambil sebagai dalil bahwa tingkat demokrasi dalam sistem politik saling mempengaruhi dengan tingkat demokrasi dalam sistem-sistem non politik dalam masyarakat, jadi secara konkrit umpamanya di perusahaan, gereja, keluarga, lembaga pendidikan dan organisasi.
Faktor lain adalah jenjang dari berbagai bentuk perkembangan sosial budaya. Dari penelitian-penelitian Cutright bahwa jenjang demokratisasi politk lebih tinggi apabila jenjang perkembangan komunikasi, ekonomi, pendidikan dan urbanisasi lebih tinggi. Maka sekarang timbul pertanyaan apakah demokratisasi merupakan akibat atau sebab dari perkembangan lainnya. Mengenai hal itu dua hipotesa saling berhadapan. Hipotesa pertama adalah; demokratisasi memajukan berbagai perkembangan sosial-budaya. Suatu pembagian yang tidak merata dari kekuasaan politik menahan perkembangan sosial budaya, akan menjurus kepada meluapnya tuntutan politik dan kepada ambruknya  sistem poliitk itu.
Suatu faktor struktural lainnya adalah pembagian dari berbagai barang materiil dan non-material. Dapat dimengerti, bahwa jika berbagai dasar kekuasaan diantaranya milik, pendapatan, gengsi dan pengetahuan, terbagi secara lebih merata dalam masyarakat, maka kekuasaan politik pun akan terbagi lebih merata, jadi kadar demokrasi politik akan lebih tinggi.
Akan lebih sedikit partisipasi politik apabila semakin banyak demokrasi (jadi pertalian negatif). Morris Jones umpamanya berpendapat bahwa apati politik dianggap sebagai tanda demokrasi yang sehat, suatu indikasi dari toleransi dan kepercayaan pada pemimpin-pemimpin. Yang dipilih.
Pendekatan toleransi yang lain dalam bentuk paling sederhana berarti bahwa ada lebih banyak partisipasi politik bila semakin banyak demokrasi (jadi suatu pertalian positif). Apati (ketidak acuan) politik menurut teori ini dapat dijelaskan dari demokrasi yang tidak memadai. Morris Rosenberg umpannya berkesimpulan bahwa apati politik untuk sebagian timbul dari kurangnya kepercayaan terhadap efektivitas partisipasi politik.
Demokrasi politik digambarkan di atas sebagai cara pembentukan kebijaksanaan yang ada selama anggota-anggota kelompok mempunyai kemungkinan mempengaruhi isi, terwujudnya dan dampak kebijaksanaan kelompok secara langsung atau tidak langsung. Menurut pendapat demikian masih ada demokrasi selama ada kemungkinan bagi semua anggota kelompok untuk menjalankan partisipasi. Politik secara efektif. Partisipasi politik akan lebih banyak dijalankan apabila partisipasi itu dianggap lebih perlu dan lebih memadai. Teori yang satu menurut kata lain berarti bahwa lebih sedikit partisipasi politik apabila para warga menganggap partisipasi ini kurang perlu, umpamanya disebabkan kepercayaan pada wakil-wakil rakyat dan pemimpin-pemimpin lainnya. Teori yang lain mengatakan bahwa lebih sedikit partisipasi politik apabila partisipasi ini dianggap kurang mungkin atau kurang mampan (efektif). Maka dapat diambil kesimpulan, bahwa menurut kedua teori itu (demokrasi di satu pihak memajukan partisipasi politik dengan membuatnya mungkin dan efektif, dan di lain pihak mengekang partisipasi politik karena membuatnya untuk sebagian tidak dibutuhkan, yaitu menurut gambaran yang ada pada para warga.
Di sini pun dapat kita bayangkan pengaruh timbal-balik. Kelihatannya partisipasi politik, perhatian dan pengetahuan merangsang juga bagi kadar demokrasi politik.
Dalam satu studi yang meliputi partisipasi politik, Milbrath (1965) membedakan antara berbagai tingkat partisipasi politik. Menurut dia bagian terbesar warga negara Amerika sebenarnya memainkan peran penonton: sang warga memang membukakan diri bagi rangsangan politik, tetapi aktivitas politiknya tidak banyak melebihi pemasangan sticker (gambar temple) pada mobil di waktu diadakan pemiliha, suatu usaha membujuk orang lain memberi suara untuk sesuatu partai tertentu dan ikut memberi suara (pada pemilihan presiden kira-kira tujuhpuluh persen dianggap tetap, maka orang-orang yang mempunyai masalah-masalah mengenai kesejahteraan ternyata banyak berpartisipasi dari pada yang lain.
Berbagai bentuk partisipasi politik lebih sering diadakan oleh orang-orang dengan status sosial-ekonomis yang lebih tinggi-menurut pendapat, pekerjaan dan pendidikan-daripada oleh orang-orang lain; lebih sering oleh kaum pria umur empatpuluh sampai enampuluh tahun daripada oleh orang-orang yang lebih muda atau lebih tua; lebih sering oleh orang-orang yang kuat mengidentifikasikan diri dengan suatu partai politik daripada yang lain; lebih sering oleh orang-orang yang tidak mengalami tekanan-tekanan menyilang dari pada oleh orang-orang yang mengalami tekanan-tekanan menyilang. Tekanan-tekanan menyilang dalam hal ini adalah ikatan-ikatan atau identifikasi dengan golongan-golongan yang mendorong orang yang bersangkutan ke arah partai-partai yang berbeda-beda.
Dilihat dari sudut demokrasi maka yang penting bukan hanya pertanyaan sampai di mana para warga berpartisipasi pada politik, dan kategori mana lebih banyak daripada yang lain, tetapi juga pertanyaan apa dampak dari partisipasi itu.
Demokrasi kepercayaan (penerimaan baik pilihan kebijaksanaan) lebih banyak mendapat manfaat dari partisipasi politik langsung dari demokrasi partisipasi (partisipasi) politik langsung  sebagai sarana mempengaruhi ke bijaksanaan).
Dapat diambil kesimpulan bahwa pengaruh partisipasi politik langsung terhadap kebijaksanaan, sepanjang diketahui, hingga sekarang masih terbatas, ini bukan alasan untuk berputus-asa tentang kemungkinan dan arti partisipasi politik langsung atau malah dari demokrasi. Di dalam suatu masyarakat di mana pendirian-pendirian sangat berbeda-beda, justru bila masyarakat itu demokrasi, pengaruh setiap orang atau kelompok mungkin terbatas. Pemerintahan mempunyai pengaruh yang cukupan. Mengalihkan perhatian pemerintah kepada pendirian-pendirian partisipasi politik langsung, meningkatkan kepercayaan pada kebijaksanaan dan pengerahan dukungan bagi kebijaknsanaan dilihat dari sudut demokrasi bukan tidak penting. Tetapi walaupun demikian, jalannya proses-proses partisipasi politik langsung dan partisipasi politik pada umumnya, juga dari sudut demokrasi, masih dapat menerima banyak perbaikan.
Mobilisasi Politik
Partisipasi politik para warga dapat juga dijelaskan kecuali dari berbagai faktor politik dan sosial lainnya, dari upaya yang dipertimbangkan dengan baik dari pemimpin-pemimpin untuk menggerakkan para warga memberi dukungan yang aktif pada suatu kebijaksanaan tertentu, suatu ideoligi tertentu atau suatu sistem politik tertentu. Di sini kita menemui gejala mobilisasi politik yang disebut dengan singkat

Demokrasi pada mahasiswa
unjuk rasa umumnya dilakukan oleh kelompok mahasiswa yang menentang kebijakan pemerintah atau para buruh yang tidak puas dengan perlakuan majikannya. Namun unjuk rasa juga dilakukan oleh kelompok-kelompok lainnya dengan tujuan lainnya.
Unjuk rasa kadang dapat menyebabkan pengrusakan terhadap benda-benda. Hal ini dapat terjadi akibat keinginan menunjukkan pendapat para pengunjuk rasa yang berlebihan. Unjuk rasa yang anarkis biasanya dilakukan oleh para mahasiswa.
Mahasiswa merupakan harapan bangsa yang harus berpola pikir idealis. Mahasiswa memiliki peranan penting bagi arah masa depan bangsa ini, mereka sengaja dicetak di bangku perkuliahan dengan segala ilmu yang nantinya dapat mereka terapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebelum ataupun sesudah mereka di wisuda. Hal ini merupakan sebuah tanggung jawab yang besar bagi para mahasiswa, mereka harus berpikir keras tentang arah perubahan yang baik bagi masyarakat.
Di Indonesia yang sangat disayangkan adalah kenyataan mahasiswa masa kini, semakin maju dan berkembangnya zaman tetapi membuat pikiran idealis mereka menjadi tumpul. Yang terjadi saat ini adalah mahasiswa menjadi semakin apatis, mereka tidak lagi peduli tentang isu-isu sosial yang sedang berkembang di lingkungan kampus, tempat tinggal bahkan isu-isu yang berkembang dalam pemerintahan. Ketumpulan idealisme terjadi pada mahasiswa yang seringkali mengaku bahwa dirinya dan organisasi yang menaunginya adalah benar-benar aktivis sejati. Mereka rajin melakukan aksi “turun ke jalan” untuk berorasi dalam demo dan meneriakkan segudang tuntutan yang harus segera dipenuhi oleh pemerintah. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan sikap tersebut karena mahasiswa disebut sebagai seorangagent of change namun akan menjadi masalah jika demo atau unjuk rasa yang mereka lakukan harus di nodai dengan tindakan brutal dan anarkis, membuang jauh identitas intelektual mereka. Demonstrasi sekarang menjadi sangat lekat dengan kekerasan, sehingga setiap demonstrasi harus selalu dijaga oleh berlapis-lapis pasukan polisi dengan senjata dan pelindung. Mahasiswa pun harus berdemo dengan memakai helm untuk melindungi kepala mereka dari lemparan batu atau pentungan polisi.
Hal ini kemudian diperparah dengan isi demonstrasi itu sendiri yang seringkali tidak konstruktif. Demonstrasi menjadi sekumpulan massa yang bergerak dan berteriak bersama tapi kosong dari solusi sehingga hanya memperkeruh suasana. Isinya hanya desakan dan tuntutan disertai dengan bumbu makian serta sumpah serapah, lalu jika tidak dipenuhi, aksi akan mudah berujung anarki.
Demonstrasi ini juga menjadi suatu hal yang lebih bersifat reaktif daripada sebuah upaya sistematis dan proaktif untuk perbaikan bangsa. Sedikit-sedikit demonstrasi, tanpa ada upaya terlebih dulu untuk mengklarifikasi dan mendalami masalah yang ada serta mendiskusikan kemungkinan solusi yang dapat diambil untuk mengatasi masalah tersebut.
Karena begitu penting dan mendesaknya peran mahasiswa bagi bangsa ini, sudah seharusnya peran mahasiswa lebih berfokus pada solusi daripada masalah. Dalam demonstrasi selayaknya yang disampaikan bukan hanya hujatan dan tuntutan mundur terhadap pihak tertentu karena dianggap gagal mengatasi suatu masalah. Demonstrasi akan lebih bersifat konstruktif jika yang disampaikan adalah penawaran alternatif solusi untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Demonstrasi dilakukan dengan tertib setelah sebelumnya diadakan forum-forum diskusi bersama untuk membahas suatu isu sehingga dihasilkan alternatif pemecahan masalah yang bisa diambil.
Demonstrasi pun bukan satu-satunya cara untuk mencurahkan aspirasi dan menujukkan kepedulian kepada bangsa. Tidak perlu selalu mengumpukan ribuan massa untuk menyampaikan aspirasi. Alangkah lebih efektif jika penyampaian aspirasi dilakukan dengan perwakilan mahasiswa yang berdialog langsung dengan jajaran pimpinan lembaga atau pihak-pihak terkait. Mahasiswa mengetuk pintu mereka dengan sopan, dengan prosedur resmi, bukan berteriak mencaci di luar pagar karena sikap yang demikian sama sekali jauh dari solusi.
Aspirasi positif mahasiswa juga dapat disampaikan melalui berbagai media. Media cetak dan internet kini membuka banyak ruang untuk diisi dengan kontribusi pemikiran dan tawaran solusi dari mahasiswa bagi perbaikan bangsa.
Cara-cara seperti ini akan membuat potensi anarki dapat ditekan serendah mungkin. Kemacetan yang merugikan banyak pihak dapat dihindari. Ketakutan dapat diusir jauh-jauh. Aspirasi mahasiswa dapat tersampaikan dengan baik. Permasalahan bangsa pun dapat lebih mudah diselesaikan.
Hal ini tidak berarti membuat demonstrasi menjadi tidak diperlukan lagi. Meniadakan aktivitas demonstrasi sama sekali juga merupakan tindakan yang kurang bijak. Demonstrasi yang dilakukan dengan tertib dan solutif akan memberikan suatu pendidikan dan inspirasi yang luar biasa bagi masyarakat Indonesia. Karena mahasiswa dengan kapasitas intelektual yang dimilikinya memang sudah seharusnya turut serta dalam mendidik setiap komponen bangsa, minimal dengan memberikan teladan yang baik dengan berdemonstrasi dengan cara yang elegan.
Baru-baru ini ditayangan berita hampir disemua stasiun televisi dapat kita saksikan aksi mahasiswa berdemo dan terlibat perkelahian dengan aparat keamanan, sungguh sangat disayangkan sekelompok manusia berpendidikan harus terlibat perkelahian yang ditonton berjuta-juta juta jiwa bangsa ini.
Mengapa kawan-kawan mahasiswa harus berdemo dengan tindakan anarkis? Dari semua kejadian ini masihkah Indonesia disebut sebagai bangsa yang ramah, sopan santun dan berbudi luhur? Agaknya itu menjadi persoalan bagi semua masyarakat bangsa Indonesia dalam menghadapi krisis identitas ini.
Yang kemudian harus kita pahami bersama adalah bahwa terlepas dari bobroknya aksi mahasiswa dalam demonstrasi akhir-akhir ini, paling tidak hal ini menunjukkan bahwa mereka masih peduli terhadap nasib bangsanya. Walaupun kepedulian itu memang masih belepotan noda karena perilaku mahasiswa itu sendiri. Banyak pihak boleh saja menghujat dan antipati terhadap aksi demonstrasi mahasiswa, tapi seharusnya kita melihatnya sebagai potensi dan harapan. Hanya perlu mengarahkan mahasiswa saja untuk menyalurkan kepedulian mereka dalam jalur yang benar. Maka kemudian kita akan menyaksikan dengan mata kepala kita sendiri bahwa bangsa ini melangkah nyata menuju puncak kejayaannya, dengan mahasiswa sebagai penggeraknya.


SUMBER;

No comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.